Ketika Emosi Menjadi Penguasa

Kamis 22-05-2025,17:52 WIB
Reporter : Puji Khoirunnisa
Editor : Rosis Aditya

Mereka harus belajar mengelola diri sendiri sambil mengelola perasaan orang lain. Dalam kondisi ini, empati menjadi tameng, dan kesabaran menjadi perisai. Tapi bahkan tameng dan perisai pun bisa retak bila terus dipukul oleh amarah.

Lama-lama, mereka belajar untuk mengunci mulut dan menyembunyikan ekspresi. Emosi yang seharusnya bisa diungkap secara sehat malah dipendam, dan itu bisa mengarah ke stres berkepanjangan. Mereka jadi lebih pendiam, cemas, dan kadang merasa tidak aman di tempat yang seharusnya menjadi ruang nyaman.

Yang ironis, saat orang yang emosional itu tenang, ia bisa lupa akan dampak emosinya. Tapi mereka yang jadi penahan emosi, tetap menyimpan luka. Ini kenapa kecerdasan emosional bukan hanya soal ekspresi, tapi juga soal pengaruh terhadap orang lain.

Kita tak pernah tahu seberapa besar seseorang berusaha terlihat tenang, hanya karena ia tak ingin menjadi pemantik konflik. Dan sering kali, itu berarti ia sudah terlalu lama mengalah.

Belajar Mengenali dan Mengendalikan Emosi

Mengembangkan kecerdasan emosional bukan soal menahan amarah, tapi mengenali perasaan dan memahami akar penyebabnya. Emosi tidak muncul tiba-tiba; ia selalu punya pemicu, baik dari dalam maupun luar. Mampu menyadari hal ini adalah langkah awal yang sangat penting.

Banyak orang mengira emosi bisa dikendalikan hanya dengan menahan diri. Padahal, itu hanya memindahkan ledakan ke waktu lain. Pengelolaan emosi yang sehat justru butuh refleksi dan keterbukaan untuk memahami diri sendiri.

Proses ini memang tidak mudah. Tapi bisa dimulai dari hal kecil: menarik napas dalam-dalam sebelum merespons sesuatu, memberi waktu jeda untuk berpikir, atau belajar berkata “aku sedang butuh waktu sendiri”. Semuanya sederhana, tapi berdampak besar.

BACA JUGA:7 Langkah Mudah Menulis Artikel Berita Feature yang Menggugah

Penulis buku Emotional Intelligence, Daniel Goleman, menyatakan bahwa kemampuan mengelola emosi sangat menentukan kualitas hidup seseorang. “IQ mungkin penting untuk masuk ke suatu bidang kerja, tapi kecerdasan emosional menentukan bagaimana seseorang bertahan, beradaptasi, dan berhasil di dalamnya,” tulis Goleman. Ia juga menekankan bahwa kesadaran emosional berperan besar dalam hubungan sosial dan keputusan sehari-hari.

Kecerdasan emosional juga berarti mengenali emosi orang lain. Bukan untuk menyenangkan semua orang, tapi agar kita tidak menyakiti tanpa sadar. Mengendalikan emosi bukan berarti menjadi lemah, tapi justru menunjukkan bahwa kita cukup kuat untuk tidak dikendalikan oleh emosi.

Mereka yang mampu mengelola emosinya dengan baik akan lebih mudah menjalin hubungan sosial, bekerja sama, dan bertumbuh secara pribadi. Dan yang paling penting, mereka menciptakan ruang aman bagi orang-orang di sekitarnya.

Emosi bukan musuh, tetapi cermin. Dari sana kita bisa belajar siapa diri kita sebenarnya, apa yang kita takutkan, apa yang kita harapkan, dan apa yang perlu kita perbaiki. Jika kita tidak ingin terluka oleh orang lain, mulailah dengan memastikan kita bukan sumber luka itu sendiri.

Kecerdasan emosional tidak diajarkan secara formal, tapi bisa dilatih dalam kehidupan sehari-hari. Ia butuh kesadaran, latihan, dan keinginan untuk memahami, bukan hanya untuk dimengerti.

Sebab pada akhirnya, kita semua ingin dimengerti tanpa harus berteriak. Dan kita semua ingin damai, bukan hanya di luar, tapi juga di dalam diri sendiri.***

 

Tags : #emosi
Kategori :

Terkait

Kamis 22-05-2025,17:52 WIB

Ketika Emosi Menjadi Penguasa