Jakarta, AktualNews - Kepulauan Aru, Maluku, menyimpan keindahan alam yang kaya akan biodiversitasnya yang unik. Menariknya, alam sudah membentengi Aru dengan hutan mangrove yang sangat luas. Tidak mengherankan, ketika ada tangan-tangan yang mencoba menghancurkan kekayaan itu dan merampas hak masyarakat adat Aru, Monika Maritjie Kailey berada di barisan paling depan untuk menentang dengan suara lantang.
Postur tubuhnya boleh kecil, namun semangatnya menjaga biodiversitas Aru, termasuk masyarakat adat yang hidup di dalamnya, luar biasa besar dan tak pernah surut. Saat ini Monik sedang berada di Cali, Kolombia, untuk mengikuti Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity (COP 16 CBD). Ia membawa pesan dari masyarakat di Kepulauan Aru bahwa selama berabad-abad masyarakat adatlah yang menjaga hutan, laut, dan kekayaan biodiversitas di dalamnya.
Seperti apa kehidupan perempuan pemberani yang hebat ini?
Bukan anak perempuan biasa
Ketika rata-rata anak perempuan di kampungnya ikut ibu belajar masak di dapur, Monik ikut ayahnya keluar-masuk hutan dan pergi ke laut. Ia ingat, saat berusia sekitar 7 tahun, ia diajak ayahnya masuk hutan, tidur di gua, beralaskan tempat tidur militer yang ditinggal oleh kakak dari kakeknya di gua. Di dalam gua-gua tersebut banyak sarang burung walet, yang dikumpulkan oleh ayahnya untuk kemudian dijual.
“Dalam perjalanan dari satu gua ke gua lain, Papa mengajari kami membaca jejak berbagai hewan buruan, seperti rusa dan babi hutan. Saya juga pernah diajak berburu, melihat pemburu menghalau binatang hutan agar mendekati pemanah,” kata Monik, yang sering ikut ayahnya menombak udang pada malam hari.
Dari alam ia belajar banyak tentang mencari makan dan bertahan hidup, termasuk mencari pohon yang harus dipanjat untuk menyelamatkan diri dari hewan-hewan besar berbahaya, seperti babi bercula, rusa bertanduk besar, dan kasuari. Monik juga belajar membuat dan memasang perangkap untuk hewan luar, serta memilih kayu yang bisa menghasilkan api.
“Hal-hal seperti itu tidak dipelajari oleh anak perempuan lain di kampung kami, sementara anak laki-laki tidak perlu belajar tentang hal-hal tersebut. Mereka akan bisa dengan sendirinya, karena ini adalah sesuatu yang mereka lihat setiap hari, Learning by seeing. Mereka selalu diizinkan pergi ke hutan bersama kakak atau teman, membawa bekal sederhana yang disiapkan ibunya. Di laut mereka akan menjala ikan, di hutan mereka akan berburu hewan,” kisah Monik.
BACA JUGA:Kebun Asri Muiz Sarana Edukasi Keluarga Sambil Menikmati Kuliner Yang Wajib Anda Coba
Menjadi berbeda dari anak perempuan lain, Monik memandang, apa yang dipelajari di alam bersama ayahnya, menjadikan dirinya seperti sekarang, yaitu menjadi seorang leader. Paling tidak, bagi diri sendiri. Dari kesehariannya ‘bermain’ di hutan dan laut, anak pertama dari enam bersaudara ini ditempa untuk belajar bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan menjadi role model bagi adik-adiknya.
Hidup bersama hutan dan laut
Monik menegaskan, alam dan manusia tidak bisa dipisahkan, karena saling berkaitan dan saling membutuhkan. “Masyarakat di kampung kami hidup bergantung pada laut dan hutan. Di hutan kami membuat perkebunan untuk menanam bahan pangan, seperti singkong, ubi jalar, dan keladi. Di hutan pula kami mendapatkan tanaman obat, jika tidak bisa menjangkau fasilitas medis. Di hutan ada rusa dan babi hutan, yang kami buru sesuai kebutuhan saja,” cerita Monik, yang sesekali masih bisa melihat rusa dan babi hutan, ketika pulang kampung dan bermain ke hutan.
Mengambil sesuai kebutuhan merupakan kearifan lokal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Masyarakat akan berburu hewan dalam skala besar, jika ada acara adat di kampung. Mereka mengadakan kegiatan serupa bakti sosial dengan ramai-ramai berburu, membawa tombak dan busur panah.
Monik bercerita, sekitar 65-70 persen masyarakat adat Aru hidup dari hasil laut dan sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Hasil laut di Aru sangat melimpah, mulai dari rumput laut, teripang (ketimun laut), bermacam jenis ikan, udang lobster, hingga kepiting bakau. Selain mengambil hasil laut untuk kelangsungan hidup, mereka juga sekaligus mempertahankan pangan lokal.
“Alam telah menyediakan apa yang kita butuhkan setiap hari. Karena itu, banyak hal yang dilakukan masyarakat Aru untuk menjaga alam. Salah satunya, adanya aturan adat bahwa sebelum menebang pohon untuk membangun rumah, masyarakat harus menanam bibit pohon terlebih dahulu. Jika pohon yang baru itu hidup, barulah mereka boleh menebang pohon,” kata Monik, yang senang membuat aksesori dari bahan-bahan alam, seperti kerang, biji-bijian, dan batu.