Dalam forum itu, Suharyanto menebalkan pengetahuan masyarakat terkait fenomena sesar tadi. Menurut Suharyanto, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) banyak sekali dilalui sesar yang sudah terdeteksi maupun yang belum.
Sebagai contoh, gempabumi dengan magnitudo 5.6 di Cianjur yang terjadi pada November 2022 itu dipicu oleh sesar yang keberadaannya baru terdeteksi. Tim ahli dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Riset Nasional (BRIN) kemudian menamai patahan tersebut dengan sebutan “Sesar Cugenang”, karena lokasinya berada di Desa Cugenang.
“Gempa Cianjur itu sesarnya baru. Muncul di Desa Cugenang. Makanya dinamakan Sesar Cugenang. Kemudian gempabumi di Sumedang. Itu juga baru,” jelas Suharyanto.
BACA JUGA:Kabadiklat Kemhan Tutup Diklat Bela Negara BBPK dan BNPB
Dari keberadaan sesar aktif, baik yang sudah maupun yang belum terpetakan itu, Kepala BNPB mengingatkan bahwa potensi risiko bencana gempabumi tetap menjadi hal yang harus diwaspadai bersama. Terlebih wilayah Kulon Progo masuk dalam wilayah yang memiliki potensi dampak risiko bencana seperti daerah lain. Oleh sebab itu, Kepala BNPB menganggap upaya kesiapsiagaan menjadi hal yang penting untuk selalu ditingkatkan.
“Termasuk Kulon Progo itu sesar yang jelas-jelas aktif dan berpotensi megathurst. Kejadian seperti di Aceh, Padang, Mentawai, Palu hingga Sendai di Jepang itu bisa terjadi di tempat kita ini. Karena itu BNPB memandang sangat penting upaya kesiapsiagaan,” jelas Suharyanto.
Sebagai upaya membentuk masyarakat yang tangguh bencana, BNPB berkolaborasi dengan kementerian/lembaga lain. Sebut saja BMKG, BRIN termasuk unsur TNI dan Polri. Seluruh unsur itu pun memiliki peran penting sesuai tupoksinya masing-masing.
Contoh sederhananya, jika BMKG bertugas memasang alat pendeteksi dan peringatan dini, maka tugas BNPB adalah mempersiapkan masyarakatnya agar lebih sigap dalam membaca peringatan dini sebagai bagian dari peningkatan kapasitas.
Dua hal itu menjadi bagian yang tidak boleh dipisahkan. Tanda-tanda alam maupun informasi peringatan dini bagi sebagian orang masih menjadi pertanyaan. Jika pemahaman masyarakat dan perilaku tidak dalam satu rangkaian, maka hal itu dapat memperbesar risiko bencana.
“BMKG membeli dan menasang alat agar masyarakat bisa tahu duluan. Aceh waktu itu masyarakatnya tidak mengerti ketika setelah terjadi gempabumi lalu air laut surut. Mereka turun ke laut untuk mengambil ikan. Tiba-tiba tsunami datang,” kata Suharyanto.
“Tugas BNPB menyiapkan masyarakatnya. Makanya dibentuklah Destana itu. Di 180 desa itu. Kalau selamat semua ya berarti berhasil. Harus ada parameternya. Makanya saya keliling melihat sampai sejauh mana program itu dapat dilaksanakan dengan baik,” tambah Suharyanto.
Dari seluruh rangkaian program Destana itu, Kepala BNPB menaruh harap semoga hal itu akan terus menjadi pelatihan dan tidak benar-benar dipraktekkan secara nyata. Dengan kata lain, Kepala BNPB berharap bahwa bencana tidak benar-benar terjadi di tengah masyarakat. Kendati demikian, Suharyanto memahami bahwa pun apabila bencana terjadi, semua itu merupakan kehendak Sang Pencipta. Manusia hanya dapat berikhtiar untuk melakukan hal terbaik demi mengurangi risiko bencana.
“Mudah-mudahan dengan kegiatan penyiapan desa ini kita harapkan sampai kapanpun isinya simulasi saja. Jangan sampai terjadi praktek beneran. Mohon itupun jangan dianggap sepele. Karena bencana itu tidak ada yang datangnya tiba-tiba,” kata Suharyanto.
Lebih lanjut, Kepala BNPB mewanti-wanti bahwa bencana adalah kejadian yang berulang. Setiap bencana menurut verifikasi ilmu sains memiliki ‘hari ulang tahunnya’, sehingga kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat tetap harus menjadi aset utama demi melahirkan manusia-manusia yang memiliki budaya sadar bencana.
“Siklus bencana itu berulang. Tsunami Aceh itu ternyata beberapa puluh tahun yang lalu itu sudah pernah terjadi. Kita sebagai masyarakat tidak ada salahnya untuk harus tetap waspada,” jelas Suharyanto.