Dilema Ondel-Ondel: Pelestarian Budaya atau Gangguan Ketertiban?

Sabtu 08-06-2024,20:30 WIB
Reporter : Nurhanifah
Editor : Admin

Pernahkan Anda perhatikan pengamen Ondel-Ondel di jalanan?

 

Jakarta, AktualNews-Di tengah hiruk pikuk Jakarta, Ondel-Ondel, ikon budaya Betawi yang penuh warna, tak hanya meramaikan pernikahan atau khitanan. Sosok raksasa yang menari ini pun kerap menghiasi jalanan, menghibur para pengguna jalan dengan iringan musik dan tingkah lucunya.

Sebagai warga Jakarta, saya melihat Ondel-Ondel menari di dekat rumah memang menghadirkan keceriaan tersendiri. Boneka raksasa penuh warna ini menjadi ikon budaya Betawi yang tak terpisahkan dari identitas Ibu Kota. Namun, di balik tariannya yang meriah, sering kali saya merasa prihatin, terutama ketika saya melihat tak jarang anak kecil juga ikut menopang boneka besar dan berat ini sambil menari di dalamnya.

BACA JUGA:Catatan Kecil Kang Parkir ( 1 )

Alasan ekonomi menjadi pendorong utama bagi mereka untuk mengamen ondel-ondel. Bagi para pengamen, terutama remaja, Ondel-Ondel menjadi sumber penghasilan untuk membantu keluarga mereka. Namun, keberadaan mereka di jalanan tak selalu mulus.

Saya merasa miris melihat para pengamen sering diusir dan dimarahi oleh penduduk setempat yang merasa terganggu oleh suara musik dan gerakan ondel-ondel. Saya memperhatikan beberapa pengendara di jalan pun tak luput dari rasa kesal, menganggap Ondel-Ondel sebagai penyebab kemacetan. Tak jarang, Ondel-Ondel ditabrak oleh mobil maupun motor yang melaju kencang.

Perasaan miris semakin bertambah ketika melihat pengamen ondel-ondel berlari-lari menghindari Satpol PP yang datang untuk menertibkan pengamen ondel-ondel. Dan semakin mirisnya, sejak diberlakukannya Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Budaya Betawi dan Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2017 tentang Ikon Budaya Betawi, yang mengatur pelestarian dan penampilan Ondel-Ondel, keberadaan mereka di jalanan mulai berkurang, bahkan hampir tidak terlihat lagi.

Peraturan ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, pemerintah ingin melindungi budaya Betawi dan menjaga ketertiban umum. Di sisi lain, kebijakan ini juga membatasi ruang bagi para pengamen Ondel-Ondel untuk berkarya dan mencari nafkah.

Di tengah situasi yang serba dilematis ini, saya memasuki Kampung Ondel-Ondel, saya disambut oleh deretan rumah sederhana yang dihiasi oleh Ondel-Ondel dengan berbagai ukuran. Ada yang masih gagah berdiri dengan kostumnya yang menawan, namun tak sedikit pula yang sudah lusuh dan termakan usia.

BACA JUGA:Ending: Puluhan Tahun Konsisten Jual Gado-gado Dekat Kantor Nasdem

Langkah kaki saya membawa saya ke rumah Pak Mulyadi, seorang pengrajin Ondel-Ondel yang telah menekuni profesinya selama puluhan tahun. Matanya berbinar saat menceritakan kecintaannya pada budaya Betawi dan Ondel-Ondel. Saya merasa senang ketika beliau dengan antusias menjelaskan proses pembuatan Ondel-Ondel yang rumit dan memakan waktu, mulai dari pembuatan kerangka bambu hingga dekorasi yang detail.

Namun, di balik semangat Pak Mulyadi, tersimpan kisah pilu tentang masa depan Ondel-Ondel yang kini terancam punah. Pandemi Covid-19 telah memukul telak para pengrajin dan pengamen Ondel-Ondel. Pertunjukan yang dulu ramai kini sepi. Pendapatan mereka pun menurun drastis.

Lebih menyedihkan lagi, saya melihat banyak Ondel-Ondel di kampung ini yang sudah rusak dan terbengkalai. Ondel-Ondel yang dulunya penuh warna dan ceria, kini hanya menjadi pajangan bisu, saksi bisu dari gemerlap masa lalu.

Kebijakan pemerintah yang melarang pengamen ondel-ondel di jalanan semakin memperparah situasi. Aku memahami kekhawatiran pemerintah tentang penurunan nilai budaya Betawi dan potensi gangguan ketertiban umum. Namun, di sisi lain, aku juga melihatnya sebagai upaya para pengamen untuk melestarikan budaya Betawi di tengah keterbatasan.

Tags :
Kategori :

Terkait