Jakarta, AktualNews-Kewajiban vaksin COVID pernah diajukan ke Mahkamah Agung (MA) melalui uji materiil XXX. Uji materiil ditolak, dan kewajiban vaksin dinyatakan sah dengan alasan "kepentingan umum" dan hak orang lain untuk kesehatan.
Putusan Mahkamah Agung didasarkan pada asumsi yang sama sekali salah bahwa vaksin COVID mencegah infeksi dan penularan, padahal pemerintah sudah mengakui jauh sebelum uji materiil ini bahwa vaksin tersebut tidak mencegah infeksi dan penularan, yang berarti tidak ada kepentingan umum sama sekali.
Majelis Hakim telah mengabaikan semua fakta yang tersedia pada saat putusan dan hak-hak konstitusional. Lebih parah lagi, majelis hakim MA sepenuhnya gagal mempertimbangkan fakta bahwa vaksin COVID memiliki tingkat risiko yang luar biasa tinggi, bersifat eksperimental dan tidak pernah diuji oleh BPOM, artinya kewajiban vaksinasi menimbulkan risiko kesehatan dan bahkan kematian sangat tinggi, yang sepenuhnya melanggar konstitusi dan tidak pernah dapat dibenarkan dengan “kepentingan umum”.
Berbagai tindakan faktual terkait kewajiban vaksin COVID, seperti pembatasan yang diberlakukan pada yang tidak divaksin, diajukan ke PTUN Jakarta dalam nomor perkara XXX. Beberapa tindakan faktual dalam objek gugatan tersebut terbukti terjadi dalam tenggang waktu 90 hari, tetapi gugatan tidak diterima (NO) berdasarkan eksepsi tenggang waktu, dengan menggunakan PP XXX sebagai dasar tenggang waktu, meskipun PP tersebut bahkan tidak disebutkan dalam gugatan dan PP bukan dalam kewenangan PTUN.
Putusan tersebut yang sepenuhnya cacat dan tanpa dasar hukum bahkan diperkuatkan oleh MA pada tingkat kasasi.
Diskriminasi terhadap orang yang tidak divaksin diajukan sebagai gugatan tindakan faktual di PTUN Jakarta nomor perkara XXX.
Meskipun gugatan tersebut 100% solid dalam setiap aspek, gugatan tidak diterima (NO) melalui pelanggaran hukum acara dan etika hakim yang mencolok: a. Majelis hakim membuat klaim fakta, tanpa bukti, dalam putusan bahwa objek gugatan tidak lagi ada, yang sepenuhnya salah karena objek gugatan masih terbukti terjadi pada saat putusan dan b. lebih buruk lagi, majelis hakim menciptakan dan mengabulkan eksepsi bahwa objek gugatan tidak lagi ada, eksepsi tersebut tidak pernah diajukan oleh pihak tergugat dan murni diciptakan oleh majelis hakim.
Dokumen-dokumen pendukung dan bukti yang diajukan pemohon membuktikan tanpa keraguan bahwa segala tindakan yang diambil pemerintah selama COVID adalah salah, berbahaya, tanpa dasar yang jelas, sembrono, menyalahgunakan kekuasaan secara ilegal, dan telah menyebabkan jauh lebih banyak mudarat daripada manfaat.
BACA JUGA:Acer Indonesia Melakukan Penanaman Ribuan Mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove Wonorejo, Surabaya
Mahkamah Konstitusi bahkan telah menyatakan “UU COVID” (UU 2/2020) tidak konstitusional dan menganggap pemerintah berupaya memberikan dirinya sendiri kekuasaan yang belum pernah ada sebelumnya tanpa pertanggungjawaban, bahkan disertai kekebalan pemerintah terhadap upaya hukum.
Pemerintah juga menolak melakukan evaluasi terhadap tindakan dan kebijakannya selama COVID. Sebaliknya, semua tindakan dan kebijakan yang merugikan, tidak efektif, dan tidak konstitusional telah "disahkan" dalam UU kesehatan baru, memastikan bahwa dalam kejadian pandemi palsu atau nyata di masa depan, kerugian yang ditimbulkan pada bangsa dan rakyat akan lebih besar lagi daripada selama COVID.***
Kutipan Uji Material UU Kesehatan oleh YAKIN
Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia