Jakarta, AktualNews-Jogja memang berbeda alias Istimewa. Setelah kemarin UII (Universitas Islam Indonesia) kampus swasta runner-up tertua di Indonesia setelah Hoogere Theologische School (sekarang Sekolah Tinggi Filsafat Theologia) yang dulu didirikan semenjak tahun 1934 di Buitenzorg / Bogor, Kampus UII yg awalnya bernama STI / Sekolah Tinggi Islam di Djocja tsb kembali mengadakan acara sekaligus menorehkan sejarah untuk memperingati 26 th Reformasi (1998-2024).
Kalau kemarin menyelenggarkan Diskusi Forum Cik Ditiro yang intinya menolak Pengesahan RUU Penyiaran yang kontroversial dan menampilkan beberapa pembicara kompeten seperti Direktur Pusat Studi Hukum & Hak Azasi UII, Mas Eko Riyadi SH MH, Mbak Pito Agustin Rudiana Jurnalis Tempo dan Mas Antonius Darmanto seorang senior salam bidang Perundang-undangan khususnya UU Penyiaran sejak Reformasi 1998, kali ini UII meluncurkan PSAD (Pusat Studi Agama & Demokrasi) di Kampus Utara, Jalan Kaliurang Km 14.5 Jogja.
BACA JUGA:Staf Ahli Bupati: Pajak Daerah Merupakan Sumber Pendapatan Daerah Yang Penting
Peluncuran PSAD di tengah merosotnya demokrasi dan memudarnya peran agama di Indonesia ini terasa tepat dan penting, sekali lagi bukan Jogja kalau tidak istimewa, karena biasanya peresmian atau pembukaan acara ditandai dengan pemukulan gong atau penekanan tombol sirene, tetapi peluncuran PSAD ini disimbolkan dengan pemukulan sebanyak 26 (dua puluh enam) kentongan yang melambangkan 26 tahun Reformasi. Kenapa kentongan? Karena alat bunyi-bunyian yang terbuat dari bambu tsb memang dikenal sebagai sarana menarik perhatian guna mengumpulkan massa dan memberikan informasi penting termasuk amar bahaya. Secara khusus di Jogja ketika masa kerajaan Majapahit, kentongan Kiai Gorobangsa sering digunakan sebagai pengumpul warga.
Inilah makna dari dipukulnya 26 kentongan di PSAD-UII tsb, karena setelah 26 tahun dilalui, tampaknya makna Reformasi mulai (di) hilang (kan) oleh rezim, sehingga masyarakat perlu ditarik perhatiannya, dikumpulkan dan diingatkan untuk kembali ke cita-cita luhur tahun 1998 tsb. Jadi dengan dipukulnya 26 kentongan yang dipimpin oleh Ketua PSAD, Prof Adink Masduki dan diikuti 25 kentongan lainnya, bermakna filosofis sangat dalam agar kita yang masih waras bisa terus merawat dan menjalankan agenda reformasi sejak 21/05/1998 tsb. PSAD lahir atas kerja sama UII dengan MMD Initiative, sebuah lembaga kajian di bidang keadilan & demokrasi (berdiri sejak 2014). Bagi UII & MMD Initiative, kehadiran lembaga ini merupakan komitmen atas keIslaman dan keIndonesiaan, serta tekad untuk berkontribusi terhadap berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsa hari ini.
Sebelumnya sesuai tata urutan kegiatan formal biasanya, acara yang diselenggarakan di Ruang Sayap Timur Lt. 2 Gedung Sardjito ini dimulai dengan Pembacaan Kalam Ilahi dan Menyanyikan Lagu Indonesia Raya serta Hymne UII. Kemudian Rektor UII Prof. Fathul Wahid dalam sambutannya menekankan pentingnya menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa pembajakan terhadap demokrasi tidak lagi dengan cara kekerasan, penggunaan militer, atau kudeta. Karena Pasca Perang Dingin, di banyak negara, kemunduran demokrasi justru dilakukan oleh pemerintahan terpilih. Demokrasi dibunuh oleh anak kandungnya sendiri. Kemunduran demokrasi bahkan dimulai dari bilik pemungutan suara ketika pemilu.
Yang menarik, Prof Dr Mahfud Md (Mantan Menkopolhukan, mantan Ketua MK sekaligus Alumnus UII) dalam keynote speechnya menilai demokrasi di Indonesia kian mengalami ancaman. Dia melihat kondisi Indonesia saat ini hampir mirip dengan proses kelahiran Nazisme dan Fasisme tapi prosesnya dilakukan secara halus. Nazisme lahir melalui proses pembenaran. Di dalamnya ada dewan rakyat yang memutuskan sesuatu lalu memberi legitimasi kekuasaan yang tidak terbatas dan lain sebagainya. Tandanya proses yang tidak demokratis ditempuh melalui proses demokrasi. Dalam istilah tradisional Jawa, inilah dulu yang sempat saya sebut sebagai "lamis" alias sudah dikamuflase dgn segala cara, tampak halus tapi sesungguhnya jahatnya luar biasa.
Di Indonesia, proses melanggar hukum dilakukan melalui pembuatan aturan hukum, terutama dalam 10 tahun terakhir. Sehingga terjadi pergeseran dari the rule of law menjadi the rule by law. Beliau mencontohkan praktik the rule by law itu seperti ketika pernah ada seorang anak presiden ingin menguasai industri mobil nasional. Namun, karena hanya hobi balap sehingga tidak punya perusahaan dan modal, akhirnya dibuatkan kebijakan. Itulah yang disebut sebagai positivist instrumentalistic, sebuah keinginan dipositifkan sebagai instrumen sehingga menjadi benar. Sayang beliau mungkin lupa untuk mencontohkan ada juga anak presiden lainnya yg juga berhasil maju gara-gara ada aturan hukum yang diubah melalui pamannya dan sekarang dikenal sebagai "anak haram konstitusi".
Oleh karena itu, kampus mempunyai tanggung jawab untuk meluruskan arah demokrasi Menurut beliau UII ini terpanggil untuk membuat PSAD sekaligus dipanggil oleh sejarah untuk meluruskannya, karena universitas ini didirikan sebagai anak kandung Republik. Didirikan oleh Moh Hatta diresmikan oleh Bung Karno. Memang sejarahnya di tahun 1945, sidang umum Masjoemi (Majelis Sjoero Moeslimin Indonesia) melaksanakan. Pertemuan & dihadiri oleh Dr. Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Mr. Mohamad Roem, KH. Wahid Hasjim, dan Baginda Dahlan Abdullah. Salah satu keputusannya adalah pembentukan STI pada 08/07/1945 yang kini menjadi UII semenjak 03/11/1947.
BACA JUGA:Tekan Angka Lakalantas, Dishub Sumut Jaring Pelajar Pelopor Keselamatan
Secara lebih detail, PSAD ini didukung & akan dikelola oleh sejumlah tokoh bangsa dari berbagai latar belakang. Dewan Penasehatnya antara lain Prof Mahfud Md kemudian ada mantan Kepala LPS & Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah, mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, Akademisi UII yang juga Direktur MMD Initiative, Asmai Ishak, Mantan anggota DPR, Erwin Moeslimin Singajuru, dan budayawan Butet Kartaredjasa. Dalam peluncuran tadi juga ada Orasi Virtual dari Romo Franz Magnis Suseno, Pdt Prof Tabitha Kartika Christiani, Prof Dr Ma'mun Murod, Prof Dr Abdul Mu'ti, Alissa Wahid & KH Affifudin Muhajir.
Kesimpulannya, 26 tahun Reformasi yang disimbolkan dengan 26 Kentongan memang harus dipukul kembali alias diingatkan arah tujuan & cita2nya semula kepada masyarakat. Jangan sampai upaya-upaya "lamis" (sebagian kalangan menyebutnya dengan istilah "Glembuk Oslo") yang sudah berhasil sekarang ini utk membungkam demokrasi dan sekaligus mematikan feformasi dibiarkan terus-terusan terjadi.
Kampus-kampus sebagai kawah candradimuka para cendekia ditunggu partisipasi aktifnya dalam mengembalikan arah dan cita-cita Republik ini, Indonesia Emas menanti, jangan jadi Cemas, Gemas, apalagi Lemas 2045.***
Dr. KRMT Roy Suryo - Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB