Ahmad Syaikhu, Ngaji Pasaran Di Bulan Ramadhan

Minggu 26-03-2023,01:38 WIB
Reporter : Suherman Roy
Editor : Suherman Roy

Ahmad Syaikhu Ketua MDS Rijalul Ansor Kabupaten Tangerang Opini Tangerang, AktualNews - NGAJI PASARAN adalah Sebuah keunikan dan keistimewaan dari khazanah Nusantara. Suatu kebiasaan yang sangat mentradisi di dunia pesantren dalam mengisi kegiatan di bulan suci Ramadhan. Selain penyambutan puasa, seperti: tradisi nyekar, megeng, munggahan, yang dilakukan sejumlah masyarakat Nusantara. Santri dan kyai lazimnya ramai mengadakan ngaji posonan. Atau di Banten biasa menyebutnya: ngaji pasaran. Dulu, Sekitar 2011 atau 2012-an lalu, saya pun pernah sempat mencoba, membuka pengajian pasaran sekitar 20 kitab tipis-tipis, khatam dalam satu bulan. Bahkan mendirikan bangunan pondok, tapi karena satu hal dan sebagainya, percobaan itu tidak bisa diteruskan, tidak jadi istiqomah. Mungkin karena elemen dasar pesantrennya ada yang belum terpenuhi, akhirnya saya terpaksa memilih kembali beraktivitas seperti orang biasa. Hanya sesekali mengisi taklim sebulan sekali, khutbah, dan tausiyah. Itupun kalau ada yang ngundang. Umumnya, kyai dari berbagai pesantren, yang kesehariannya sibuk mengajar sorogan dan bandongan atau weton, mereka akan membacakan satu kitab pilihan, yang dibuka untuk semua kalangan. Khatam dalam lima belas atau tujuh belas hari. Dibaca waktu pagi, siang, dan selepas salat tarawih. Kitab yang dikaji bisa diambil satu dari berbagai disiplin ilmu, di antaranya, seperti Fikih: Fathul Mu'in, Riyadhul Badi'ah; Tasawuf: Ihya Ulumuddin, Minahus saniyah; Nahwu Shorof: Alfiyah, Asmawi; Tafsir: Tafsir Jalalain, Tafsir Munir; dan ilmu tauhid; dan sebagainya. Menyambut bulan istimewa itu. Santri mukim pastinya akan antusias mengikutinya. Mulai dari santri kelana sampai orang-orang pedesaan ikut berduyun-duyun ambil bagian. Bagi santri senior atau calon kyai, bulan puasa ini biasanya dijadikan kesempatan untuk memperdalam fan ilmu secara khusus. Sebab, menurut tradisi pesantren, pengetahuan seseorang diukur oleh jumlah buku yang telah pernah dipelajarinya dan kepada ulama mana ia telah berguru. Biasanya selesai khataman, seorang kyai kharismatik akan mengijazahkan satu wiridan atau amalan khusus. Atau menambahkannya dengan mengkhatamkan satu kitab lagi, sampai menjelang Lailatul Qadar. Hal ini seperti yang pernah dilakukan oleh Mamah Sanja, Kyai dari Pesantren Riyadul Alfiyah, Kadukaweung, Pandeglang. Dan, sekarang diteruskan oleh anak-menantunya, kyai Juwaini dan Kyai Malik. Belum lagi, dahulu pernah, dari kyai-kyai masyhur Banten lainnya, seperti Abuya Dimyati-Cidahu, dan Abuya Bustomi-Cisantri. Kini dilanjutkan oleh Abuya Muhtadi, dan seterusnya. Di masa kini, umumnya umat Islam tidak asing dengan istilah ngaji pasaran. Belakangan, beberapa tahun silam. Terlebih di masa covid, pengajian pasaran online marak dilakukan, live streaming Facebook misalnya, seperti yang diinisiasi oleh Kyai Ulil Absor Abdala, Kyai Muqshit Ghozali, Kyai Ali Abdillah, dan lainnya. Hal demikian itu semakin membuat dunia pesantren meriah dan berkembang, dan berhasil dinikmati oleh berbagai kalangan warganet, bahkan dunia. Sekedar contoh, di wilayah Banten khususnya, banyak Kyai muda bermunculan berinisiatif dengan berbagai kreatifitasnya mengadakan pengajian online maupun offline, seperti: Kyai Hamdan Suhaemi Ketua MDS Rijalul Ansor Banten, Kyai Muhammad Robi Ketua NU Kabupaten Serang, Kyai Rizal Cikupa, Ustaz Suryadi, dan sejumlah kyai muda lainnya yang belum termuat dalam tulisan ini. Mengapa ngaji pasaran? Di seluruh Indonesia, menurut Zamakhsyari Dhofier, ada lima elemen dasar sebuah pesantren, yakni terdiri dari: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab kuning, dan kyai. Umumnya, orang biasanya membedakan kelas-kelas pesantren dalam tiga kelompok, yaitu pesantren kecil, menengah, dan besar. Tergantung dari jumlah santri dan pengaruh kyai-nya. Nah, bagi kita yang memiliki keterbatasan waktu dan biaya. Sibuk dan lain sebagainya. Tapi ingin sekali berkunjung dan berguru ke sosok kyai yang masyhur dengan kealiman dan kema'rifatannya, mungkin dengan ngaji pasaran inilah salah satu wasilahnya, tanpa harus bertahun-tahun menetap di pesantren kyai tersebut. Istilahnya, ngalap berkah. Atau sekarang, cukup jadi santri online Gus Ulil. Bisa menyimak langsung atau dapat ditunda. Berbeda dengan masa awal perjuangan pesantren. Dulu, bagi seseorang yang penuh cita-cita, pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh dan masyhur merupakan suatu keistimewaan. Ia harus memiliki keberanian cukup, penuh ambisi, menekan perasaan rindu kepada keluarga maupun teman-teman sekampungnya. Sebab nanti setelah selesai mesantren, ia diharapkan menjadi seorang alim, mengajarkan kitab-kitab, dan memimpin masyarakat dalam kegiatan keagamaan. Dari sinilah, sebagai khazanah kenusantaraan, pesantren dari dulu berhasil menawarkan alternatif di tengah himpitan perekonomian dan biaya pendidikan yang semakin mahal. Bahkan sampai sekarang pun, dari berbagai kelas dan kalangan menengah ke bawah, mudah dan bebas mengakses sebuah kajian keislaman otentik. Tinggal bagaimana pesantren atau kyai muda memainkan peranannya di dunia serba digital ini. Merespons era kekinian, maka benar apa yang ditulis Abdul Mun'im dalam Fragmen Sejarah NU: Menyambung Akar Budaya Nusantara. Sejak awal pesantren hadir sebagai pendidikan alternatif. Pertama alternatif dari pendidikan feodal yang hanya menerima kerabat keraton dan kaum ningrat. Kedua, sebagai alternatif dari pendidikan Belanda yang diskriminatif yang hanya menerima kalangan priyayi. Ketiga, sebagai alternatif pendidikan mahal, maka pesantren menyelenggarakan pendidikan untuk semua kalangan, kalangan ningrat, kalangan priyayi dan kalangan rakyat jelata, sehingga pendidikan pesantren pada masa awal, bisa dimasuki oleh semua kalangan. Jadi, di dalam maraknya era digitalisasi ini, terlebih dalam menyambut bulan suci Ramadhan ini, hendaknya sikap responsif dan terbuka terhadap perkembangan dunia pengetahuan harus terus diimbangi. Supaya pesantren tidak saja hadir untuk satu agama, tetapi untuk membebaskan masyarakat dari berbagai ketidakadilan, dan bagi pesantren ilmu bukan sebagai komoditi melainkan khazanah yang harus disebarluaskan. Dengan dasar itulah khazanah pesantren akan terus berkelanjutan. Terlebih lagi menghadapi tahun politik dan sistem yang diselimuti ketidakadilan ini, apapun keadaannya, pesantren sekali lagi diuji, harus tampil konsisten, baik kemandirian secara politik maupun secara ekonomi.[Red_Akt/56]   AktualNews

Tags :
Kategori :

Terkait