JAMAL. A. PANUDA, Sekretaris LPBHNU Maluku (Kiri/Kemeja Putih) Maluku , AktualNews-Walau pun sudah berlangsung lama hingga lebih 10 tahun silam, ternyata sampai sekarang kemelut batas wilayah antara Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) di Maluku belum kunjung berakhir. Orang-orang yang selama ini menempati kawasan wilayah yang disengketakan masih saja terjebak dalam ketidakpastian hukum, entah mesti tunduk mengikuti sistem administrasi pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah di Masohi ataukah sebaliknya harus berkiblat pada Pemerintah Kabupaten SBB di Piru. Seorang Tokoh Pemuda asal Maluku di Jakarta, Rustam Puha, menyayangkan pihak pemerintah yang sudah sekian lama seakan-akan tidak tergerak mengambil inisiatif dengan melakukan langkah-langkah konkrit mengakhiri kemelut panjang ini, baik Pemerintah Pusat mau pun Pemerintah Daerah di Maluku di Ambon. Puha, yang juga salah satu fungsionaris DPP KNPI ini mengaku kemelut panjang yang sudah lama berlangsung sehingga nampak tak berujung ini membuat dirinya paling sering dihantui gelisah. Menurut dia, kemelut ini sesungguhnya bersumber dari penerbitan UU No. 40 tahun 2003 tgl 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dan Kabupaten Kepulauan Aru, jelasnya pada era kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri. Singkatnya, para-Pembuat UU ini tidak menaruh perhatian terhadap aspek kesesuaian naskah yang berfungsi mencegah penafsiran berbeda dalam implementasinya, yaitu antara naskah pasal-pasal pada batang tubuh beserta penjelasannya dengan peta lampirannya, padahal itu semua merupakan satu kesatuan integral, yang oleh karena itu lazim disebut “bagian tak terpisahkan”. Ditanyakan kira-kira seperti apa konkritnya, Wakil Ketua Persatuan Tani Muda Seluruh Indonesia (PTMSI) ini mengatakan, jelasnya, UU No. 40 tahun 2003 menentukan batas wilayah Kabupaten SBB adalah dengan Kecamatan Amahai, sedangkan batas wilayah Kecamatan Amahai sebelum pemekaran wilayah Kabupaten Maluku Tengah dengan dibentuknya ke-2 Kabupaten SBT dan SBB letaknya di Kali Tala (Wai Tala), bukan Kali Mala (Wai Mala). Sungguh pun demikian, tuturnya lanjut, belakangan kesalahan naskah dalam UU itu sudah diubah melalui putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 123/PUU-VIII/2009 tgl 2 Februari 2010. Dia mengaku masih ingat, Gubernur Maluku (saat itu : K.A. Ralahalu) salah satu “Pihak Terkait” dalam sidang perkara ini pada hari Rabu 30 Desember 2009 yang dipimpin langsung oleh Ketua MK (saat itu : Prof. Machfoed MD), antara lain mengatakan sebelumnya ada surat Menteri Dalam Negeri (saat itu : Mardiyanto) No. 136/1552/SJ tanggal 6 Mei 2009. Surat ini, menurut Ralahalu sebagaimana dituturkan mantan Pengurus GP Ansor Maluku Tengah ini, isinya mengkonstatir Peta Lampiran UU No. 40 tahun 2003 menyebut batas wilayah Kabupaten SBB sebelah timur dengan Kecamatan Seram Utara dan Kecamatan Amahei Kabupaten Maluku Tengah pada Waii atau Sungai Makina di utara dan Wai atau Sungai Mala di selatan, selanjutnya Gubernur Ralahalu diminta untuk memfasilitasi Penegasan Batas ke-2 Kabupaten. Ternyata ketika diturunkan Tim tgl 2 Juli 2009 yang dipimpin Kepala Biro Pemerintahan, demikian Puha mengulangi keterangan Ralahalu, masyarakat telah terpolarisasi dalam 3 kelompok, yaitu ada kelompok yang mewakili pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah, kelompok netral dan kelompok yang mengakui pemerintahan Kabupaten SBB. Sementara itu, lanjutnya, pakar hukum Universitas Pattimura Ambon, Prof. J. E. Lokollo yang hadir sebagai “ahli” dari pihak Pemohon Bupati Maluku Tengah (saat itu : Ir. H. Abdullah Tuasikal) Dkk, Lokolo secara tegas menyebut “bukti-bukti batas wilayah Kecamatan Amahai sebelum pemekaran” ada 4 (empat) buah patok tanda batas yang letaknya di “Kali Tala (Wai Tala)”. Tak heran, katanya, menurut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan batas wilayah Kabupaten SBB adalah di Kali Tala atau Sungai Tala atau Wai Tala, kemudian dalam amar putusannya menerima permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Tetapi anehnya, kata dia, pasca putusan MK itu Menteri Dalam Negeri (saat itu : Gamawan Fauzi) malah kembali membuat “blunder” baru dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 29 tahun 2010 tgl 13 April 2010 tentang “Batas Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku”. Letak blundernya, menurut Puha, isinya pada psl 2 menyebut batas wilayah Kabupaten SBB secara runtun mulai butir 1 s/d butir 14, bermula butir 1 dari sebelah utara disebut “muara Kali Makila di Laut Seram” hingga berakhir di selatan pada butir 14 disebutnya “sampai pada muara Wai Mala di Teluk Elpaputih”. Berhubung sebelumnya ada informasi kemelut batas wilayah ke-2 Kabupaten ini sempat dikaji secara intens oleh Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Maluku di Jln Jenderal Sudirman No. 25 Ambon, sehingga ditanyakan langsung pada Jamal. A. Panuda selaku Sekretaris, ternyata dibenarkan. Ditanyakan kira-kira sejauh mana kajiannya dan apa saja rekomendasinya, Jamal yang juga salah satu Staf Pengajar Universitas Pattimura ini mengatakan : “Dalam rangka implementasi salah satu fungsi LPBHNU melakukan kajian hukum sesuai AD/ART NU, memang benar, kemelut ini masuk dalam daftar inventarisasi atau terinventarisier sebagai salah satu masalah hukum di daerah ini yang perlu dilakukan kajian hukum, sehingga beberapa waktu lalu dibentuk sebuah Tim Internal diketuai langsung oleh Ketua LPBHNU Maluku, pak Samra, dan saya sendiri selaku Sekretaris. Hasil Telaah pada prinsipnya sudah rampung, tinggal menunggu waktu yang tepat kira-kira kapan nanti akan diplenokan, sesudah itu baru dipublikasi”. Kira-kira kapan jadwalnya hasil kajian itu akan diplenokan agar kemudian dapat dipublikasikan, dia beralasan sangat bergantung pada waktu yang tepat semua unsur Tim mulai Pembina dan Pengarah bersama Ketua dan Sekretaris sampai para Anggota bisa hadiri rapat bersama-sama. Sebab sejauh ini beberapa diantara mereka masih harus fokus menyelesaikan beberapa perkara yang memang harus diprioritaskan, malah karena itu sebagiannya masih berada di luar daerah. Hanya, merujuk pada hasil kajiannya itu Jamal mengaku tidak salah bila ada orang berpendapat Mendagri yang saat itu dijabat Gamawan Fauzi justru melahirkan “blunder” baru. Sebab, urai Jamal, pada setiap putusan MK selalu melekat ‘azas erga omnes’ artinya tidak ada lagi sesuatu upaya hukum lain yang bisa ditempuh, kemudian, sifatnya ‘final and binding’ artinya mengikat barang siapa saja sebagai kewajiban hukum untuk tunduk mematuhi putusannya termasuk pemerintah beserta segenap elemennya tanpa kecuali. Nah, perkara No. 123/PUU-VII/2009 itu diputus tgl 2 Februari 2010 sedangkan Permendagri No. 29 tahun 2010 tgl 13 April 2010 berarti penerbitannya sudah lampau 2 (dua) bulan 2 (dua) hari pasca putusan MK, tetapi substansinya tentang batas wilayah Kabupaten SBB tidak disesuaikan malah mengikuti begitu saja muatan UU No. 40 tahun 2003 yang sempat melahirkan surat Mendagri No. 136/1552/SJ tanggal 6 Mei 2009, ibarat hanya memberikan penegasan atau penguatan atas produk terdahulu seakan-akan tidak ada yang salah atau tidak ada hal sesuatu yang perlu diperbaiki.
Padahal putusan MK dalam pertimbangan hukum Mahkamah berpendapat batas wilayah SBB adalah Kali Tala atau Wai Tala kemudian amarnya menyatakan psl 7 ayat (4) UU No. 40 tahun 2003 beserta Lampirannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Lagi pula, perundang-undangan sebagai dasar penerbitan Permendagri No. 29 tahun 2010 itu antara lain disebut juga UU No. 40 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 123/PUU-VII/2009.
Ini menurut dia, justru sangat terang menunjukan sosok pejabat yang “tidak taat azas” malah cendrung sewenang-wenang.
Terakhir ditanyakan apa komentarnya mengenai kemelut panjang ini, Jamal mengatakan, pendapat LBHNU Maluku jelas, bahwa putusan MK adalah produk hukum yang harus dilaksanakan, dengan kata lain tak boleh tidak, sesuai “azas Fiat Justitia Ruat Caelum” yang artinya ‘hukum harus ditegakkan walau langit akan runtuh’, sebab jika tidak, kelak akan melahirkan preseden buruk dalam penerapan hukum di negeri ini, seakan-akan suatu putusan hakim atau juga putusan MK bisa saja dikesampingkan hanya gara-gara bersandar pada sesuatu jabatan dalam pemerintahan.
Hanya berangkat dari ketentuan psl 17 ayat (2) Permendagri No. 141 tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, dia mengaku optimis kemelut panjang ini bisa diakhiri melalui kearifan Gubernur Maluku, Murad Ismail. Untuk itu dia juga mengatakan, LPBHNU Maluku siap membantu setidak-tidaknya memberikan sumbangsih pemikiran apabila diperlukan. [ Red/Akt-13/Munir Achmad ]
AktualNews