Foto: Soleman.A.Lessy (*), mendampingi Ketua PWNU Maluku Karnusa Serang (x) dan Sekretaris Hamid Umakaapa (xx) menemui KH Said Aqil Sirodj saat masih menjabat Ketua Umum PBNU Jakarta, AktualNews-Kabar telah dibukakannya kembali “Meja Pengaduan” di gedung Balai Kota oleh Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, menuai tanggapan beragam. Di antara pendapat yang beragam itu, Sekjen AspekNU, Soleman A Lessy, malah menilai dengan dibukanya kembali Meja Pengaduan itu justru memperlihatkan kesan jelas, Heru sebagai pimpinan organisasi birokrasi pemerintahan di wilayah DKI Jakarta berkeinginan kuat mendekatkan warga beserta masalah-masalah apa yang melilit tiap-tiap orang, dengan kata lain dia ingin memperoleh informasi direct dan orisinil. Lessy justru melihat, ada kemungkinan inisiatif Heru membuka kembali “Meja Pengaduan” merupakan bagian strateginya meraih sesuatu obsesi yang berhubungan dengan amanah Presiden Jokowi ketika memilihnya sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta. Mungkin juga, tukas alumni Lemhanas RI yang juga Pengamat Politik ini, gara-gara sebelum ini Heru sudah mengetahui layanan birokrasi pemerintahan di DKI Jakarta seperti sering dikeluhkan warga begitu beragam dan kerapkali ada juga yang tidak mendapat respon sebagaimana mestinya, belum lagi mengenai kesulitannya menemui pimpinan-pimpinan unit atau sub unit atau bahkan juga sub-sub unit sampai lapisan paling bawah tidak jarang pula menjadi keluhan khalayak, semisal Lurah dan Ketua-Ketua RT/RW. Dikatakan, menurut pengetahuan dia, penempatan “Meja Pengaduan” di gedung Balai Kota Jakarta ini dahulu bermula pada masa kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sekira tahun 2016. Ahok, kata dia, pada waktu itu mengambil inisiatif menggelar “Meja Pengaduan” dengan maksud agar setiap warga DKI Jakarta merasa ada sentuhan langsung dari Pemerintah Daerah dan semua orang bebas menyampaikan laporan mengenai masalah-masalah yang dihadapi sepanjang itu berhubungan dengan kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pendapatnya ini ternyata sama dengan keterangan Ahok ketika menjelaskan alasannya membuka “Meja Pengaduan” kepada pers Rabu (19/10) baru-baru, dikatakan : "Biar warga DKI merasa ada pejabat yang menjadi pelayan mereka. Siapa yang mau posisi tertinggi, dia yang harus paling banyak melayani rakyat”. Sejak awal digelar, demikian lanjut Lessy, ternyata gagasan ini sudah buru-buru menuai sambutan gembira dari warga ibukota, bahkan juga mendapat dukungan luas oleh berbagai kalangan karena dinilai sebagai “produk kebijakan yang populis”. Dia sendiri mengaku, sempat beberapa kali datang berurusan pada masa kepemimpinan Ahok ketika awal gagasannya itu digelar, hampir setiap hari kerja antara pkl 08:00 sampai pkl 10:00WIB terlihat pelataran gedung Balai Kota laksana dibanjiri warga, terkesan seakan-akan menemukan sumber air setelah lama menahan dahaga di padang pasir. Pernah suatu hari karena buru-buru harus keluar kota sebelum siang hari itu juga sehingga dia datang ke Balai Kota masih pagi belum juga pkl 08:00 kelihatan pengunjung sudah bejubel, lantas ditanyakan pada salah seorang petugas ternyata malah ada yang datang jauh lebih pagi sebelum pkl 07:00. , Gara-gara tak putus-putusnya dibanjiri warga datang laksana tak bisa terbendung, tambahnya, pada akhirnya volume layanannya terpaksa harus dibatasi rata-rata 1.000 orang saja pada tiap hari kerja, lain-lain di luar itu akan diteruskan pada hari kerja berikutnya. Datang pada saat Ahok terpaksa harus menjalani pidana penjara gara-gara putusan Hakim yang menyatakannya terbukti bersalah telah melakukan penodaan agama, gagasan populis ini tidak terhenti melainkan diteruskan saja oleh Wakilnya, Djarot Saiful Hidayat, yang kemudian dilantik menggantikannya sebagai Gubernur. Karena kebijakan menggelar “Meja Pengaduan” ini tetap dipelihara Soemarsono yang saat itu menjabat Dirjen Otonomi Daerah ketika ditunjuk merangkap jabatan sebagai Penjabat Gubernur DKI berkenaan berakhirnya masa jabatan Ahok-Djarot, maka saat memasuki era kepemimpinan Anies Baswedan pasca dilantik sebagai Gubernur defenitif bersama Sandiaga Uno sebagai wakilnya, awal-awalnya nampak masih sempat diteruskan, tetapi hanya selang beberapa waktu saja, kemudian sudah tidak kelihatan lagi. Tidak berapa lama pasca pelantikan Anies-Sandiaga, ketika datang ke Balai Kota menyaksikan tidak nampak kerumunan warga lagi seperti pada hari-hari sebelumnya, sempat juga ditanyakan, namun Petugas yang ditanyai malah mengaku ikut bingung sendiri juga entah disebabkan apa, padahal “Meja Pengaduan” masih tetap saja digelar sebagaimana biasa. Setelah itu, tuturnya lanjut, tak lama kemudian ketika dia datang lagi “Meja Pengaduan” malah sudah tidak kelihatan pada tempatnya, konon dialihkan Anies turun ke Kantor Walikota dan Kantor Camat, dengan alasannya agar lebih mudah dijangkau warga tanpa perlu membuang waktunya jauh-jauh datang ke Balai Kota. Lebih jauh dimintai komentarnya tentang inisiatif Heru menggelar kembali “Meja Pengaduan” di gedung Balai Kota sebagaimana dahulu dilakukan Ahok, Lessy mengatakan : “Nah kita tahu, pak Heru itu berasal dari latar belakang birokrasi, artinya beliau itu seorang birokrat murni yang riwayat kariernya mulai dari bawah naik secara berjenjang menurut tahapannya tentu saja memahami benar bagaimana idealnya manajemen pemerintahan. Selain menjabat jabatan-jabatan struktural dalam struktur birokrasi Pemprov DKI di Balai Kota, dia juga pernah menjabat Walikota Jakarta Utara yang paling sering berinteraksi langsung dengan warga. Tentu digelarnya lagi “Meja Pengaduan” itu bukan gara-gara historisnya berasal dari produk seorang Ahok, melainkan dipandang sebagai sebuah inovasi paling ampuh agar bisa memberikan sentuhan langsung dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas masalah-masalah sosial sekecil apa pun sampai lapisan paling bawah”. Hanya, demikian dia meneruskan komentarnya, layanan pemerintahan daerah di DKI Jakarta yang sampai sekarang masih belum henti-hentinya menuai keluhan khalayak menurut penilaiannya lebih disebabkan komitmen dan konsistensi personal jajaran aparatnya. Tidak perlu mencari akarnya jauh-jauh, sebab regulasi sudah cukup dan dukungan anggaran juga memadai untuk mengongkosi semua pergerakan sistem mulai sarana dan prasarana sampai pada personil-personilnya yang terstruktur, tetapi ternyata outputnya berupa layanan publik sampai hari-hari ini masih tak putus-putus menuai keluhan, kunci jawabannya tak ada lain kecuali terletak pada komitmen personalia jajaran aparatnya dalam menunaikan tugas dan fungsi serta kewajiban dan tanggungjawab sehari-hari menurut pembidangannya masing-masing. Setidak-tidaknya, menurut Lessy melanjutkan, perlu didahului dengan penataan kultural, antara lain tanamkan jiwa pengabdian dibarengi konsistensi memberikan layanan kepada masyarakat layaknya seorang “abdi masyarakat” diiringi komitmennya mematuhi semua ketentuan perundang-undangan apakah UU, PP, Perpres, Perda,Pergub dan seterusnya sampai tata tertib di lingkungan kerja. Walau pun benar perlu ada “Meja Pengaduan” agar masalah sekecil apa pun yang berkorelasi dengan wewenang Pemprov DKI Jakarta bisa terinventarisier dan teridentifikasi secara utuh, tetapi sepanjang sub sistem personalia tidak lebih dahulu dibenahi, tidak ada jaminan akan terwujudnya layanan optimal yang bersifat paripurna. Dia lalu menuturkan cerita seorang temannya, praktisi hukum dari Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH) Maluku sementara di Jakarta ketika datang berurusan pada unit-unit kerja di lingkungan Pemprov DKI karena berkaitan dengan kepentingan hukum warga ibukota sendiri sebagai “Kuasa Hukum”, baru saja diceriterakan padanya hari Rabu (5/10) lalu. Pertama, kata dia mengulangi cerita temannya itu, ada Lurah yang didatangi dengan maksud untuk meminta konfirmasi tentang sebidang tanah Girik milik Kliennya yang dikuasai seseorang lain memakai sertifikat pada RT yang berbeda dan historisnya juga berasal dari Girik lain, sampai 2 (dua) kali dua-duanya tidak ketemu, malah kedua kalinya seorang petugas laki-laki yang menerima kedatangannya beberapa hari lalu sudah buru-buru menghadang dengan ekspresi rada angkuh, mengatakan ‘Lurah sudah keluar’. Selain itu, tutur dia lagi mengulangi cerita temannya, ada Kepala Badan Daerah dikirimi surat resmi yang diserahi hari Jumat 3 Juni 2022 ditunggu sampai lampau sebulan belum ada respon sehingga didatangi untuk melakukan pengecekan langsung pada hari Kamis 21 Juli 2022 diminta bersabar dengan alasan menunggu Tim yang turun ke lokasi, ternyata sampai hari Rabu (5/10) itu tak pernah ada surat konfirmasi. Mirisnya lagi, menurut temannya sebagaimana dituturkan Lessy, saking kesal karena sekian lama itu justru dinilai sebagai kelalaian yang disengajakan sehinga akhirnya dimuat melalui aplikasi “Twitter” kemudian ‘dishare’ pada akun milik Pemprov DKI bersama Anies, balasan Pengelola akun Twitter milik Badan tersebut masih juga memintanya bersabar entah nanti sampai kapan, sedangkan sampai berakhirnya masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur hari Minggu (16/10) lalu surat konfirmasinya pun tak kunjung datang, begitu pula Anies tak pernah membalas pesannya. Padahal, kata Lessy melanjutkan, membalas surat warga merupakan kewajiban bagi semua pejabat penyelenggara pemerintahan dan layanan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 25 tahun 2009 dan UU No. 30 tahun 2014. Oleh karena itu, kata dia, mengingat fundamentalnya peran personal dalam menggerakkan sistem dengan unit-unit sistem yang terstruktur secara berlapis-lapis sebagaimana halnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, maka sebagai bentuk dukungan terhadap kepemimpinan Heru diberinya saran agar buru-buru melakukan perombakan struktur dan pembenahan kultur. Setidak-tidaknya, buru-buru melakukan evaluasi selanjutnya mencopot Kepala-Kepala Badan/Dinas/ Lembaga Daerah yang tidak menunjukkan jiwa pengabdian serta komitmen dan konsistensi sebagai ASN diganti dengan figur-figur baru yang dipilih secara selektif, begitu pula pimpinan unit-unit paling bawah sampai pada Lurah-Lurah bahkan bila perlu RT/RW.[ Red/Akt-13/Munir Achmad ] AktualNews
Buka Lagi Meja Pengaduan, AspekNU : Heru Ingin Dekatkan Layanan Bagi Warga Jakarta
Sabtu 22-10-2022,19:19 WIB
Editor : Aktual News
Kategori :