Hindari Kerugian Warga, LBHNU : Polres Buru Harus Usut Dan Sita SHM2 Pada Tanah Milik Umaternate

Senin 10-10-2022,18:31 WIB
Reporter : Aktual News
Editor : Aktual News

Foto : Eksekusi SHM No. 00427 atas nama Dessy Limba oleh PN Namlea tgl 30 Maret 2021.   Maluku, AktualNews-Kapolres Buru di Namlea Maluku, AKBP Egia Febri Kusumawiatmadja diminta memerintahkan jajarannya pada Sat Reskrim mengambil tindakan memeriksa prosesi penerbitan sejumlah sertifikat hak milik (SHM) pada tanah milik almarhum Abdul Halir Umaternate di Kawasan Jiku Kecil Namlea yang ahliwarisnya sekarang meliputi Abdul Madjid Umaternate Dkk.. Produk yang perlu diusut penerbitannya adalah pada bagian tanah milik Keluarga Umaternate tetapi diterbitkan sertifikat atas nama dan atau berdasar hak dari Welem Gustaf Limba Dkk ahli waris almarhum Johanis Limba, karena pemohon dan atau pemberi hak itu bukan orang yang berhak berdasarkan putusan inkracht, dan penerbitannya dilakukan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Buru saat tanahnya sedang dalam perkara atau menjadi obyek sengketa di Pengadilan. Selain diusut, perlu buru-buru pula diletakkan sita, sebab diduga sering dilakukan transaksi atas tanah yang disebut dalam sertifikat-sertifikat itu, tentu sebagai “alat bukti” sangat mungkin dirusakan atau dihilangkan atau juga dikaburkan jejaknya, bila kelak nanti harus ditampilkan sebagai “barang bukti” atau “alat bukti” bakal sulit ditemukan oleh pihak Kepolisian. Permintaan untuk mengusut dan meletakkan sita atas sertifikat-sertifikat tersebut dikemukakan oleh Praktisi Hukum Samra, Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Wilayah Maluku di Jln Jenderal Sudirman No. 25 Ambon. Membuka pembicaraan melalui telepon selulernya dari Ambon kepada media ini, sore hari Sabtu (8/10), Samra mengatakan : “Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas-tugas Kepolisian RI, lebih khusus dukungan sebagai bagian dari NU kepada Pak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar bisa mewujudkan obsesi beliau menampilkan ‘Polri presisi’ di wilayah hukum Pulau Buru, maka kami himbau Kapolres Buru di Namlea memperhatikan surat kami tentang permintaan perlindungan hukum bagi Jalal Umaternate Dkk sebagai rujukan untuk melakukan pengusutan komprehensif dan intensif atas penerbitan sejumlah sertifikat pada tanah milik Keluarga Umaternate di kawasan Jiku Kecil Namlea oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Buru kepada Welem Gustaf Limba Dkk anak-anak almarhum Johanis Limba atau orang-orang lain yang dapat hak mereka”. Untuk melengkapi rangkaian keterangannya, maka kemudian melalui aplikasi WhatsApp dikiriminya foto suratnya itu sebanyak 7 (tujuh) halaman dan bukti tanda terima surat, kemudian disusulinya lagi dengan “Legal Opini” tentang perkara tanah ini 5 (lima) halaman ditambah foto-foto dokumentasi. Di sini terungkap jelas, suratnya atas nama Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Wilayah Provinsi Maluku di Ambon No. 03/LPBHNU.Mal-N.Lit/III/ 2021 tgl 12 Maret 2021 dengan prihal Rekomendasi perlindungan hukum terhadap pelaksanaan hak-hak warga atas tanah di Kota Namlea Kabupaten Buru ditujukan kepada Kapolres Buru disertai tembusan kepada sejumlah pejabat instansi terkait mulai level pusat di Jakarta sampai Kabupaten Buru di Namlea bahkan tak kecuali Kepala Desa Namlea yang saat itu dijabat Abdul Basir Toisuta, S.Sos. Memperhatikan bukti “tanda terima surat” terungkap, surat kepada Kapolres selaku alamat tujuan diserahkan pada tgl 5 April 2021, demikian pula pada hari yang sama tembusan-tembusan suratnya disampaikan langsung menurut alamat masing-masing, antara lain Bupati Buru dan Ketua DPRD, serta Ketua Pengadilan Negeri Namlea. Komplitnya lagi, hampir semua moment penyerahan suratnya pada masing-masing pejabat instansi lembaga/badan di Kabupaten Buru masing-masing dibuatkan pula foto dokumentasi. Ditanyakan mengapa pihaknya mesti meminta pengusutan pihak Kepolisian atas penerbitan sertifikat-sertifikatnya dengan memperhatikan surat tersebut, menurut Samra, karena didalamnya rangkaian peristiwa atau kejadiannya secara substansial sudah terurai secara detil, kronologis dan sistematis, sehingga tentu akan menjadi lebih mudah difahami oleh barang siapa saja yang tergerak memahami “kasus posisi” atau “duduk perkara”. Minimal, menyimak surat ini bisa memahami di mana letak unsur-unsur delik pidana dalam peristiwa ini sehingga tidak secara asal menggenalisiernya seakan-akan hanya sengketa tanah yang lazimnya digolongkan sebagai “perkara perdata”. Tanah itu, menurut Samra sesuai keterangan Jalal Umaternate (kakak dari Abdul Majid yang konon baru saja wafat bulan Juni 2022 lalu) ketika datang minta bantuan hukum LPBHNU Maluku, adalah bagian lahan hak adat Regentscahp Lilialy yang semula kebun garapan kakeknya, Abdul Halir, jauh sebelum pusat pemerintahan Afdeling Buru pindah dari Kayeli ke Namlea. Begitu kakeknya wafat, garapan kebun itu diteruskan ayahnya, Salem Umaternate, bahkan Jalal mengaku masih sempat ikut menggarap bersama adik-adiknya, antara lain Soleman yang sudah lebih dahulu wafat, bersama Abdul Madjid. Batu-batuan bekas “pagar kebun” itu baru diambil orang hingga tak tersisa belum terlalu lama, ketika bagian atas Kota Namlea mulai dikembangkan jelang masuk dekade 1990an pada masa kepemimpinan almarhum Drs. H. Usman Rada menjabat “Camat Buru Utara Timur” sekaligus sebagai “Koordinator Wilayah Pulau Buru”.. Hanya kebun garapan kakeknya itu banyak ditumbuhi “tanaman kayu putih (eucalyptus)”, maka ketika Ferdinand de Willigen (Opsir Belanda yang kawin dengan wanita marga Limba) datang bertugas ke Namlea masih zaman Hindia Belanda, bagian lahan yang relatif lebih padat ditumbuhi kayu putih diambil dan dikuasainya begitu saja dan daun-daunnya diolah menjadi produk “minyak kayu putih” dengan mendatangkan orang-orang dari berbagai daerah sebagai “Pekerja”. Karena memang nyata-nyata merupakan bekas kebun garapan sejak kakeknya Abdul Halir, maka belakangan oleh Pemerintah Negeri/Raja Lilialy telah dilakukan “pelepasan hak” sehingga status tanahnya berubah menjadi “Hak Milik”. Tahun 2008, Welem Gustaf Limba Dkk anak-anak/ahli waris almarhum Johanis Limba mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Ambon. Kecuali Fatimah Wamnebo Dkk selaku Tergugat I atas bagian tanah lainnya, maka dalam gugatan yang didaftarkan tgl 14 April 2008  itu Jalal ikut digugat sebagai Tergugat IX seakan-akan tanah kebun bekas garapan orangtuanya itu bagian “Dusun Ketel Kayu Putih Jiku Kecil” milik ayahnya hibah dari Ferdinand de Willigen. Saat perkara digelar, kata Samra menurut Jalal, Majelis Hakim bersama para pihak turun melakukan sidang Pemeriksaan Setempat di atas tanah Sengketa diiringi “penunjukkan batas-batas tanah” oleh Penggugat mau pun para Tergugat, berarti sudah sesuai amanah SEMA No. 7 tahun 2001, maka batas tanah menurut versi masing-masing menjadi jelas dan terang. Ternyata menurut Majelis Hakim dalam putusannya tgl 26 Februari 2009 No. 44/Pdt.G/2008 bunyi amarnya menolak gugatan para Penggugat seluruhnya, selanjutnya pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Maluku dalam putusannya tgl 21 Juli 2009 No. 24/Pdt/2009/PT.Mal ‘menolak Eksepsi para Tergugat’ dan ‘menolak tuntutan Provinsi’ serta menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya, kemudian diputus pada tingkat kasasi tgl 20 Januari 2011 dengan amar berbunyi : Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi WELEM GUSTAF LIMBA tersebut, bahkan terakhir dalam Peninjauan Kembali ternyata Mahkamah Agung dalam putusannya tgl 28 Mei 2015 No. 624 PK/Pdt/2013 menyatakan Permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali WELEM GUSTAF LIMBA tersebut, tidak dapat diterima. Mulai putusan pertama dan banding menolak gugatan Penggugat dan tingkat kasasi pun permohonan Kasasi dinyatakan ditolak, menurut Samra pada salah satu penggalan argumentasinya dalam Legal Opini, berarti apa yang disengketakan sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sehingga bersifat “litis finiri oppertet” dan tak dapat lagi diganggu gugat (onaantastbaar), artinya apabila ada gugatan baru apalagi oleh pihak yang sama harus dinyatakan “ne bis in idem”. Lepas dari itu, tambahnya, dari pendaftaran gugatan sampai jatuhnya putusan kasasi membuktikan mulai tgl 14 April 2008 s/d 20 Januari 2011 hamparan tanah ini baik bagian Umaternate mau pun Wamnebo “seutuhnya sedang menjadi Obyek Sengketa di Pengadilan”, haram hukumnya bagi Kepala Kantor Pertanahan untuk menerima pendaftaran peralihan atau pembebanan hak atasnya entah sebagian atau keseluruhan, sesuai ketentuan psl 41 ayat (1) huruf e PP No. 24 tahun 1997. Tetapi berdasarkan fakta-fakta yang terungkap melalui gugatan Dessy Limba, anak dari Welem Gustaf Limba di Pengadilan Negeri Ambon tgl 14 November 2013 No. 19/Pdt.G/2013/PN.AB mau pun gugatan Welem Gustaf Limba Dkk ahli waris almarhum Johanis Limba di Pengadilan Negeri Namlea  No. 4/Pdt.G/PN.Nla membuktikan selama rentang waktu terlarang itu ada sejumlah sertifikat hak milik (SHM) diterbitkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Buru pada bagian tanah milik Umaternate saat tanahnya sedang dalam sengketa, salah satunya antara lain : SHM No. 00427 tahun 2009 atas nama DESSY LIMBA, Lagi pula endingnya dari putusan inkracht No. 44/Pdt.G/2008/PN.AB tgl 26 Februari 2009 jo No. 24/ Pdt/2009/PT.Mal tgl 21 Juli 2009 jo No. 938 K/Pdt/2010 tgl 20 Januari 2011 tak ada hubungan hukum antara Johanis Limba mau pun anak-anaknya Welem Gustaf Limba Dkk dengan hamparan tanah yang digugat dengan menyebutnya “Dusun Ketel Kayu Putih Jiku Kecil”. Menerbitkan sertifikat pada saat terlarang saja, tukasnya, itu sama artinya memakai wewenang dari jabatan yang diberikan UU secara melawan hukum untuk memperkaya orang lain padahal diketahui perbuatannya itu “dilarang menurut hukum”. Belum lagi melihat si pemohon hak pada sertifikat itu ternyata “bukan orang yang berhak” sesuai putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Sementara dari keterangan Lela Umaternate salah satu adik almarhum Jalal, tambah Samra, pada tgl 15 April 2021 Welem Gustaf Limba kembali mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri Namlea No. 4/Pdt.G/2021/PN.Nla terhadap ke-2 kakaknya, Jalal dan Abdul Madjid, sehingga diikuti keluarga secara intens, namun entah gara-gara apa sampai sekarang tak ada kelanjutannya. Ini dinilai Samra rupanya disadari bakal diputus “ne bis in idem”, selain itu, terkesan ada maksud biar publik fahami seakan-akan haknya atas tanah itu masih ada tak perlu khawatir bila ditransaksikan. Apalagi dalam anggapan umum sertifikat tanah laksana Al Qur’an yang tak bisa diutak-atik, padahal status “bukti kuat” menurut batang tubuh psl 32 ayat (1) PP No. 24 tahun 1997 ada dijelaskan lebih lanjut pada bagian “Penjelasan”, yaitu, “sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya”. Disinilah letak pentingnya peran aktif pihak Kepolisian, kata Samra, setidak-tidaknya demi mencegah timbul kerugian bagi lain-lain orang di kemudian hari, lagi pula menurut Jalal sebelum wafat, pihaknya sudah berusaha meminta Kantor Pertanahan Kabupaten Buru mendudukkan haknya sesuai putusan inkracht itu tapi tak digubris, padahal disinyalir bagian tanah yang disebut dalam SHM-SHM dimaksud gencar ditawar-tawari, dikhawatirkan kelak menimbulkan kerugian luas tetapi sulit dipulihkan, hingga malah berubah menjadi ‘biang konflik’ entah Keluarga Umaternate selaku “Pemilik yang berhak” dengan warga tertentu atau mungkin juga antara warga satu sama lain . Intinya, tandas Samra mengakhiri pembicaraan, Polres Buru sesuai fungsi Polri perlu proaktif usut, sekaligus berikan perlindungan hukum bagi Abdul Madjid Dkk untuk menunaikan hak dan kewajiban atas tanahnya selaku “Pemilik yang berhak berdasarkan putusan inkracht”.[ Red/Akt-13/Munir Achmad]   AktualNews  

Tags :
Kategori :

Terkait